cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia
ISSN : 2655514X     EISSN : 26559099     DOI : http://doi.org/10.38011/jhli
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) terbit dengan nomor ISSN baru mulai volume 5 nomor 1. Sebelumnya, “JHLI” terdaftar dengan nomor ISSN: 2355-1350 dengan nama Jurnal Hukum Lingkungan (JHL). Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) merupakan salah satu wadah penelitian dan gagasan mengenai hukum dan kebijakan lingkungan, yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) setiap 6 bulan sekali.
Arjuna Subject : -
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 2 (2014): Juli" : 5 Documents clear
KONSISTENSI NEGARA ATAS DOKTRIN WELFARE STATE DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT ADAT Nugroho, Wahyu
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 1, No 2 (2014): Juli
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (347.138 KB) | DOI: 10.38011/jhli.v1i2.14

Abstract

AbstrakKonstitusi hijau (green constitution) menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki konsekuensi yuridis konstitusional di dalam UUD 1945 untuk menerapkan prinsip-prinsip ekokrasi, yakni setiap kebijaksanaan atau pembangunan di bidang perekonomian selalu memerhatikan lingkungan hidup di segala sektor, termasuk kehutanan. Hal ini bertujuan untuk menerapkan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara seimbang demi menyejahterakan rakyat. Objek kajian ini adalah putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dengan subjek hukumnya masyarakat adat yang telah dilanggar hak konstitusionalnya. Masyarakat hukum adat memiliki kearifan lokal (local wisdom) tersendiri dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup atas sumber daya alam hutan adat, sehingga negara wajib melindungi dan bertindak sebagai fasilitator masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan adatnya sendiri. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk menguji dan menganalisis konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state atau negara kesejahteraan dalam pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat berdasarkan kajian socio-legal atau hukum dalam fakta sosial atas putusan Mahkamah Konstitusi. Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal dalam putusan ini. Selain itu, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai pijakan yuridis normatif dan studi kepustakaan sebagai kerangka teori. Hasil kajian ini terungkap bahwa terdapat hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Adapun hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauhmana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada Pemerintah. Kesimpulan yang diperoleh adalah hak menguasai negara dimaknai sebagai kewenangan dan kewajiban negara untuk mengelola sumber daya alam hutan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, termasuk masyarakat adat, sehingga negara berfungsi sebagai fasilitator.AbstractGreen constitution placed Indonesia as a country that has a constitutional juridical consequences constitution in 1945 to apply the principles of ecocracy, that is any wisdom or development in the field of economy always looking environment in all sectors, including forestry. It aims to implement the pillars of sustainable development in a balanced manner for the sake of welfare of the people (society). The study object is the Constitution Court decision No. 35/PUU-X/2012 with indigenous people’s subject his constitutional rights. Indigenous and tribal peoples have local wisdoms of its own in the protection and management of natural resources of indigenous forest, so that the state shall protect and act as facilitators of indigenous communities to manage their own indigenous forests. The purpose of this study are to examine and analyze the consistency of state authority over the doctrine of welfare state in the management of state forest with indigenous authorities in the indigenous forest management based on socio-legal study of the Constitutional Court's decision. The author uses a methodology based on assessment of the Constitutional Court decision, by examining the socio-legal aspects of this decision. In addition, primary legal materials and secondary legal materials as a normative foundation and the study of literature as a theoretical framework. The results of this study revealed that is a relationship between the state is the state forest, and the state is customary forests. To the state forest, the state has full authority to organize and decide the inventory, allocation, utilization, management, and legal relations that occur in the forest region of the country. The indigenous forests, state authority is limited extent authorized content covered in indigenous forest. Indigenous forest management rights of indigenous communities, but if the development of indigenous communities in question no longer exists, then the rights of indigenous forest management falls to the Government. The conclusion is the state is interpreted as the authority and duty of the state to manage forest resources with the goal of public welfare, including indigenous peoples, so that the state serves as a facilitator. Unity traditional communities (indigenous peoples) are part of the eco-system of indigenous forest resource contains the values of local wisdom which has the right to manage indigenous forest, without the intervention of the state or private 
PELUANG PENERAPAN FPIC SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM PROGRESIF UNTUK MELINDUNGI HAK MASYARAKAT ADAT DALAM KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI Nidasari, Nisa Istiqomah
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 1, No 2 (2014): Juli
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.746 KB) | DOI: 10.38011/jhli.v1i2.15

Abstract

AbstrakPengadaan tanah untuk kegiatan industri minyak dan gas bumi merupakan kegiatan strategis yang diprioritaskan negara atas nama ‘kepentingan umum’.  Tidak jarang, pengadaan tersebut merampas hak tenurial masyarakat adat demi menyediakan lahan bagi perusahaan  untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Padahal fungsi tanah bagi masyarakat adat tidak hanya sebagai tempat tinggal saja, tetapi juga sebagai tempat peribadatan, sumber mata pencaharian serta bagian dari budaya dan warisan leluhur yang harus dipertahankan dan dilestarikan. Hak masyarakat adat terhadap tanah ulayat juga dilindungi oleh berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.Salah satu prosedur yang dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak fundamental masyarakat adat adalah FPIC (Free, Prior and Informed Consent) atau PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan). Secara khusus, tulisan ini bertujuan untuk menjawab pokok permasalahan sebagai berikut: Pertama, mengapa FPIC dapat menjadi instrumen hukum progresif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dalam kegiatan usaha migas? Kedua, bagaimana FPIC dapat meningkatkan kepastian hukum bagi investasi di sektor migas? Ketiga, bagaimana strategi untuk menerapkan FPIC dalam kebijakan pengadaan tanah untuk industri migas di Indonesia? AbstractLand clearing for  oil and gas industry is deemed as a strategic activity that is prioritized in the name of ‘Public Interest’. In many cases, such land clearing confiscated the land tenure of indigenous peoples to give space for oil companies conducting exploration and exploitation. This is unacceptable for indigenous peoples because not only they often depend on their customary land for their livelihoods and residence, but also because it has strong cultural and often spiritual significance. The rights of indigenous peoples over their customary land is protected under national and international legal frameworks.One of the procedure that shall gives a protection over the fundamental rights of Indigenous Peoples is FPIC (Free and Prior Informed Consent). In the business perspective, FPIC will increase the legal certainty for invesment as it provides the companies with social license to extract. Specifically, this paper will address the following questions: First, how FPIC could be a progressive legal instrument to protect Indigenous Peoples rights in the activity of oil and gas? Second, how FPIC could increase the legal certainty for investment in oil and gas industry? Third, what are the strategies to apply FPIC in the land clearing policy for oil and gas industry in Indonesia?
PENERAPAN TRANSHIPMENT:KAITANNYA DENGAN HAK BANGSA INDONESIA ATAS KOMODITAS PERIKANAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Setyorini, Savitri Nur
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 1, No 2 (2014): Juli
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (359.667 KB) | DOI: 10.38011/jhli.v1i2.16

Abstract

AbstrakArtikel ini memberikan gambaran mengenai praktik transhipment dan kaitannya dengan hak bangsa Indonesia atas komoditas perikanan dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia merupakan produsen ikan terbesar di Asia Tenggara. Namun, terdapat masalah yang mengancam kekayaan laut Indonesia, di antaranya adalah transhipment. Transhipment ini dilakukan dengan memindahkan ikan hasil tangkapan ke kapal lain di tengah laut, untuk kemudian dibawa ke luar negeri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transhipment, yang dewasa ini menjadi suatu kebutuhan dan solusi bisnis, merugikan hak bangsa Indonesia dan tidak sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. AbstractThis article provides an overview of transhipment and its relation with the right of Indonesian people and sustainable development. Indonesia is the largest fish producer in Southeast Asia. However, there are several problems threatening the natural wealth of the seas in Indonesia, one of them is transhipment. Transhipment is done by transferring captured fishes from a vessel to another vessel (or vessels) in the middle of the sea, to be brought outside the country. This research is a qualitative research with descriptive analytic design. The result shows that transhipment, which has currently become a necessity and business solution, is causing a loss to the right of Indonesian people and incompatible with the concept of sustainable development.
GUGATAN WARGA NEGARA (STUDI KASUS: GERAKAN SAMARINDA MENGGUGAT Alamanda, Rizkita
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 1, No 2 (2014): Juli
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (193.051 KB) | DOI: 10.38011/jhli.v1i2.17

Abstract

AbstrakPerubahan iklim bukan lagi menjadi sebuah omong kosong, kenyataan bahwa bumi semakin panas dan ancaman atas dampak perubahan iklim telah menjadi nyata. Pergeseran musim mengakibatkan kegagalan dalam bercocok tanam, kenaikan permukaan air laut mengancam keberadaan negara-negara kepulauan kecil. Banjir dan kekeringan adalah sebagian kecil dari dampak perubahan iklim yang telah nyata dirasakan. Bumi semakin panas, para ahli dalam Laporan IPCC WG I AR 5 semakin yakin bahwa penyebab perubahan iklim adalah akibat aktivitas manusia. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan dan kerugian yang diderita akibat dampak perubahan iklim? Di Indonesia, Gugatan Warga Negara menjadi salah satu bentuk litigasi yang menjadi alternatif penyelesaian dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh masyarakat. Abstract Climate change is not longer became an issue, we are facing the fact that earth is getting warmer and the impact of climate change is become real. The season changed, and affected the crops failure. The raising sea level threatening the existence of small islands. Flood and drought are simply the several impact of climate change that has been perceived. Earth is getting warmer, the IPCC Fifth Assessment Report of Working Group I ensure the main cause of climate change is from anthropogenic activities. The question that arose later is who will be responsible for any damage of the climate change impact? Citizen Law Suit in Indonesia has become one of litigation form that can be an alternative solution of climate change impacts in civil society.
HAK MENGUASAI NEGARA DI KAWASAN HUTAN: BEBERAPA INDIKATOR MENILAI PELAKSANAANNYA A. Safitri, Myrna
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 1, No 2 (2014): Juli
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (539.036 KB) | DOI: 10.38011/jhli.v1i2.13

Abstract

AbstrakKementerian Kehutanan (sekarang berganti menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sedang menjalankan program percepatan pengukuhan kawasan hutan. Tujuannya antara lain menciptakan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Meskipun demikian, persoalan lebih mendasar dari percepatan pengukuhan kawasan itu adalah memperjelas alas hak penguasaan pemerintah dan masyarakat pada tanah-tanah yang termasuk ke dalam kawasan hutan.Tulisan ini bertujuan menjelaskan konsep-konsep hukum terkait dengan penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.Bagaimana penguasaan dimaksud dapat memberikan kepastian hukum sekaligus keadilan bagi masyarakat dan pemerintah.Sebagai basis dalam membangun konstruksi ini adalah elaborasi konsep penguasaan negara atas kawasan hutan atau dikenal dengan hak menguasai negara.Bagaimana indikator menilai pelaksanaan hak menguasai negara itu dan bagaimana indikator tersebut digunakan untuk menilai regulasi dan praktik pengukuhan kawasan hutan adalah inti dari tulisan ini.AbstractThe Ministry of Forestry (now merged as Ministry of Environment and Forestry) is currently conducting acceleration of forest area gazettement program. The goal, among others, is to create forest area with legal certainty and justice. Nevertheless, the more fundamental issue than the acceleration of forest area designation is the clarification of government land tenure and public land tenure on lands belong to the forest area. This paper aims to explain legal concepts related to the land tenure in the forest area. How the tenure could give legal certainty and justice at the same time for both society and government. The foundation of this paper is the elaboration of state control over forest areas concept, known as the state right to control. How the indicators used in assessing the implementation of the state right to control and how these indicators are used to assess the regulation and practices of forest area designation are the two core question of this paper. 

Page 1 of 1 | Total Record : 5